Beranda Opini Albert Camus: Perjuangan itu Sendiri

Albert Camus: Perjuangan itu Sendiri

Dahulu sekali, selama delapan hari, pernah aku bermewah-mewah dengan pelbagai hal di dunia ini: tidur tanpa atap, di sebuah pantai, hanya makan buah-buahan, dan menghabiskan separuh waktu dalam air. Saat itulah aku belajar sesuatu yang membuatku menerima—dengan ironi, ketaksabaran, dan terkadang rasa gusar—tempat yang mantap dan nyaman… Aku tak tahu bagaimana memiliki.

Karna.id — Albert Camus, filosof atau lebih suka menyebut dirinya sebagai esais kelahiran Aljazair berkebangsaan Prancis melalui kutipan di atas menunjukkan paradoks kemiskinan yang ia yakini sebagai ‘kekayaan’ tak tergantikan.

Paradoks tersebut ia rasakan setelah ia mengobservasi kenyaatan hidup, yang ternyata kerap kali begitu berjarak dengan apa yang ia pikirkan. Permisalan paling enteng adalah soal cita-cita: Berapa banyak manusia yang bercita-cita menjadi dokter namun kenyataan berkata lain, manusia-manusia itu malah menjadi dukun.

Bagi orang yang tidak serius, masalah semacam itu mungkin bisa menemukan solusi dalam waktu 5 menit diskusi. Tetapi Camus melihatnya sebagai masalah besar, yang menunjukkan masalah absurdnya kehidupan. Dari situ, Camus tidak ambil pusing, “yang kongkrit”, terutama, bagi Camus adalah mencakup tubuh “daging”.

Bagi Camus, tubuh adalah “yang konkrit” karena tidak pernah berjarak dengan pikiran maupun kenyataan. Pikiran yang lapar tidak pernah berbohong kepada tubuh. Rasa lemas sebagai akibat dari lapar tidak pernah membohonginya.

Mengkambinghitamkan Tuhan

Camus ateis sejak muda dan paru-parunya rusak oleh TBC sejak berumur belasan tahun. Itu membuatnya sadar akan kematian. Karena, “yang konkrit” baginya adalah tubuh.

Mencermati kenyataannya, Camus bertanya-tanya: “Apa aku harus bunuh diri?” Kurang lebih, itu yang dapat digambarkan dari sebagaian esai Le Mythe de Sisyphe karya Camus, yang memperkenalkan filsafat absurdnya untuk mempertanyakan, apakah realisasi tentang yang absurd harus dijawab dengan bunuh diri?

Lalu ia memikirkan pertanyaan itu berhari-hari. Walhasil Camus menemukan jawaban: “Yo ndak to, mending ‘ngopi’ saja!” Kira-kira begitu, kalau disesuaikan dalam dialog mahasiswa kekinian. Itu juga yang ada dalam Le Mythe de Sisyphe, jawaban Camus: “Tidak! Yang dibutuhkan adalah pemberontakan.” Pemberontakan, di sini disesuaikan dengan kata ‘ngopi’.

Menurut Camus, manusia tidak dikehendaki mengakhiri hidup lantaran absurdnya kenyataan hidup yang dihadapi. Jangankan bunuh diri dalam pengertian sebenarnya, lari dari kenyataan bagi Camus juga bunuh diri filosofis, karena sama dengan menghentikan, atau membunuh akal rasional. Terlebih, lari dan menyerahkan masalah hidup kepada agama, artinya sama dengan mengkambinghitamkan Tuhan.

Perjuangan itu Sendiri

Kata Camus, tetap memilih hidup justru akan membuat manusia bangkit, menemukan jawaban absurdnya kehidupan. Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, tetapi pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Esai Le Mythe de Sisyphe karya Camus mengambil mitos tersebut sebagai contoh kenyataan hidup yang tidak mudah dipahami.

Karena itu, Camus berkesimpulan;

“Perjuangan itu sendiri… Sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.”

Apabila dipahami secara kontekstual, mitos itu ibarat “muter-muter”, “mbolak-mbalik” membicarakan, atau mendebatkan ide-ide yang sudah pernah dikonsepsikan pada ribuan tahun lalu, sampai melahirkan mitos Sisifus, yang dialami manusia saat tetap memilih menjalani hidup.

Salah satu alasan “muter-muter”, “mbolak-balik” itu dialami manusia adalah bukan karena ide-ide yang ribuan tahun lalu itu masih relevan sebagai pemecahan masalah di zaman sekarang, tetapi karena kita saja yang tidak naik kelas.

Maka merdekalah dengan tidak menautkan pikiran sendiri pada pikiran orang-orang kebanyakan. Hadapilah absurdnya hidup secara mandiri, karena perjuangan itu sendiri…!

Muhammad Farhan Azizi
(Fans MU dan Pecinta Kerang Ajaib)