Oleh, Fuad Bawazier (Politikus dan Mantan Menteri Keuangan RI)
KARNA.id — Issue presiden boleh 3 periode ataupun perpanjangan masa jabatan presiden untuk 3 tahun (penundaan pemilu), bermula dari menteri-menteri yang merangkap sebagai pengusaha. Terjadi conflict of interest yang kasat mata, yang merugikan negara. Banyak kebijaksanaan dan aturan/undang-undang yang beraroma untuk kepentingan sang menteri yang pengusaha tadi dan konco-konconya. Mereka belum puas berburu keuntungan dan masih perlu waktu atau perpanjangan menjabat.
Dengan sumber daya yang dipunyai, diduga kuat mereka telah mengerahkan lembaga survei tertentu dan media tertentu untuk menggalang opini. Dari sembunyi sembunyi dan malu malu kucing sampai terang terangan, tidak tahu malu. Tapi rakyat bergeming, tidak terpengaruh. Rakyat memegang semangat reformasi, presiden maksimal dua periode.
Jika boleh atau berhasil 3 periode, diduga presiden Jokowi akan kalah sebab para pendukungnya tidak akan memilih lagi Jokowi untuk ketiga kalinya. Karenanya, mereka tidak mau ambil risiko itu, risiko tidak terpilih lagi. Makanya banting setir ke perpanjangan 3 tahun saja alias penundaan pemilu. Semua happy, tidak bersusah susah dapat 3 tahun gratisan, termasuk DPR, DPD, dan DPRD. Padahal kepala daerah yang akan habis masa jabatannya di tahun ini dan tahun depan (2023) akan di PLT-kan. Pilkada baru ada November 2024. Sungguh kacau.
Mungkin dalam benak mereka, bila telah berhasil memperpanjang tiga tahun, barulah di atur ulang atau di galang lagi untuk berkuasa lagi. Demikianlah kekuasaan,— bagi mereka yang tidak disiplin dengan konstitusi,— telah menggoda untuk terus menerus berkuasa sampai menjadi diktator sekalipun.
Kini pelan tapi pasti, lembaga survei tertentu dan media tertentu yang semula bermain pro perpanjangan masa jabatan, mulai balik badan. Partai Politik (Parpol) telah resmi bersikap mana yang pro dan mana yang menolak perpanjangan atau penundaan pemilu. Pimpinan mahasiswa salon tidak usah diperhitungkan meski sudah menghadap ke istana. Tetapi lihatlah ribuan mahasiswa yg berdemo menentang penundaan pemilu meski beritanya minim di Tv-tv atau media mainstream. Juga bantahan dari cabang-cabang HMI sudah bermunculan. Entah dari cabang-cabang organisasi mahasiswa lainnya.
TNI belum bersikap. Sikap TNI yang politiknya adalah membela konstitusi, sampai sekarang memang belum terdengar. Sementara Presidennya sendiri mengatakan akan selalu patuh, taat, pada konstitusi. Karena konstitusi bilang pemilu tahun 2024, Presiden juga akan patuh.
Memang untuk presiden boleh dipilih 3 periode ataupun perpanjangan masa jabatan (penundaan pemilu), kedua opsi itu harus dengan mengubah konstitusi, tidak bisa lain. Nah, Presiden yang taat konstitusi ini akan mematuhinya bila konstitusinya memang sudah diubah. Saya kira Presiden telah bermain cantik dan aman dengan mengatakan akan selalu taat konstitusi. Tidak salah, bukan?
Itulah sebabnya di banyak negara lain bila ada perubahan masa jabatan presiden atau gaji/fasilitas presiden, tidak berlaku untuk presiden yang sekarang menjabat. Berlakunya untuk presiden berikutnya. Itu baru namanya fair.
Jadi kuncinya adalah jangan sampai ada perubahan konstitusi di masa masa yang “tidak aman” ini. Makanya sikap PDIP yang semula mengusung atau menggagas GBHN/PPHN melalui Amandemen UUD 1945 untuk sementara mencabut, satu dan lain hal, saya kira, untuk menghindari di belokkan ke perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu. Situasinya tidak kondusif. Karenanya publik menghargai sekali sikap PDIP ini. Kelak bila hiruk pikuk penundaan pemilu telah reda, kemungkinan besar setelah pemilu 2024, barulah gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN/PPHN melalui Amandemen UUD 1945 dihidupkan lagi. Jadi inilah korban pertama dari gagasan penundaan pemilu.
Yang menjadi tanda tanya masyarakat adalah semua gerakan penundaan pemilu itu sepertinya diorkestra oleh orang orang yang dekat istana, dekat dengan pusat kekuasaan, khususnya mereka yang ingin tetap berkuasa. Orang orang ini memang nekad dan sedang mabok kekuasaan. Karena itu kita tidak boleh lengah sedikitpun.
Kini rakyat sedang menghadapi kesulitan hidup. Fokus saja pada penyelesaian migor, Pertalite dan harga harga disekitar puasa dan Lebaran. Tidak usah di tambahi dengan agenda agenda kerakusan berkuasa.
Jadi sebaiknya ditutup saja agenda yang memakan energi bangsa tadi. Rakyat sudah di puncak kesabarannya. Tapi bukankah masih ada satu lagi opsi yang belum dicoba, yaitu dekrit presiden? Saya kira Presiden Jokowi tidak akan tergoda dengan ide dekrit presiden itu. Terlalu berisiko!