Karna.id — Perkaderan dalam tubuh himpunan digerakkan oleh Instruktur sebagai pelaku perkaderan HMI. Instruktur menggerakkan agenda-agenda perkaderan serta subyek yang di kader.
Dalam menggerakkan perkaderan ternyata Instruktur dihadapkan pada stigma yang telah berkembang yaitu “perkaderan adalah jalan sunyi”. Lantas memang benarkah demikian?.
Instruktur yang mempunyai semangat pengabdian dalam proses kaderisasi memiliki posisi yang sangat penting. Instruktur pula penjaga dan penyalur ideologi dalam proses ideologisasi himpunan dalam perkaderan. Memang peran instruktur tidak begitu eksis.
Akan tetapi ketika kita membayangkan di himpunan kita tidak ada yang menjaga ideologi, bagaimana kehidupan ber-HMI kader-kadernya? Dengan ikhlas, instruktur rela kemanapun, kapanpun, dan bagaimanapun untuk menyebarkan ideologi himpunan. Mencetak kader-kader himpunan guna keberlangsungan hidup himpunan.
Memang tidak mudah dalam mengelola perkaderan. Apalagi yang dikelola adalah seorang manusia yang sudah menjadi mahasiswa. Tapi marilah sebaiknya kita berpijak dalam perkaderan yang memanusiakan manusia.
Seperti yang dijelaskan oleh Aristoteles, dalam sebuah proses pendidikan maka sadarkanlah peserta didik bahwa mereka itu manusia. Dalam konteks perkaderan, sadarkanlah bahwa kader itu adalah seorang kader.
Berikan asupan bahwa hal yang harus dicari adalah buah kesadaran dan buah pengetahuan. Maka, ketika kita sudah tahu stigma bahwa perkaderan adalah jalan sunyi bagi instruktur.
Sudah saatnya instruktur menggembirakan perkaderan tersebut. Dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun caranya agenda-agenda perkaderan harus menggembirakan, pelakunya pun harus gembira.
Sehingga dalam berorganisasi kita tetap bisa menjaga agenda-agenda perkaderan dengan baik. Dengan kegembiraan yang diiringi oleh keikhlasan, maka akan mampu menangkis kepentingan-kepentingan yang tidak berpihak pada perkaderan.
Setiap zaman atau generasi memiliki masalahnya sendiri. Hal tersebut dapat dianalogikan dengan seorang ayah tidak dapat memaksakan pola pendidikan orang tuanya untuk diterapkan kepada anaknya karena zamannya telah berbeda.
Begitu pun dengan pendidikan organisasi, termasuk di tubuh HMI. Apa yang diajarkan pada latihan kader pada generasi Lafran Pane tentu berbeda dengan konteks generasi Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Apa yang diajarkan pada generasi Cak Nur merupakan tantangan zaman yang memang sesuai dengan permasalahan zaman kala itu, berbeda dengan tantangan zaman generasi Anies Baswedan.
Begitu seterusnya hingga sampailah pada generasi kita. Maka, penting kiranya untuk memahami permasalahan setiap generasi, utamanya generasi kita sendiri. Karena mustahil dapat menyelesaikan problematika generasi, jika konteks masalahnya saja kita gagal untuk memahaminya.
Pengelolaan Training HMI Berbasis Digital
Melihat Perkaderan dalam tubuh HMI yang masih jauh menyentuh ranah sosial kemasyarakatan. Kader-kader HMI kadang terjebak dalam keeksklusifitasan intelektual. Kader-kader HMI masih banyak yang sibuk untuk mengurusi internal organisasi.
Kader-kader HMI sibuk untuk meng up-grade kapasitas intelektualnya, sehingga ranah pengabdian kepada masyarakat belum tergarap dengan baik. Di zaman digitalisasi kader HMI khusunya instruktur harus mampu menguasai materi materi yang berkaitan dengan digitalisasi jangan sampai di era yang semakin cepat ini instruktur HMI jauh ketinggalan sehingga butuh pembelajaran dan pemahaman tentang pengetahuan yang terkait dengan digitalisasi harus di kuasai sehingga instruktur harus memiliki metode atau formula baru terhadap traning HMI yang berbasis kepada Pengelolaan training digital di setiap jenjang training. Sehingga training HMI tidak ketinggalan zaman atau stagnan.
Secara operasional, perkaderan dipahami sebagai usaha sistematis organisasi dalam mencapai cita-cita yang bentuknya tergambarkan melalui usaha HMI dalam membentuk integritas watak dan kepribadian, pengembangan kualitas ilmu pengetahuan serta pengembangan kualitas keahlian.
Ketiga hal ini diintegrasikan dalam sistem perkaderan HMI, yang pembagian tugas-tugas pelaksanaannya menjadi tanggung jawab kelembagaan secara umum, dan secara khusus menjadi tugas bagi bidang yang dimandati untuk melaksanakan dan mengembangkannya sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Salah satu bagian yang diberikan wewenang untuk menjaga dan memastikan proses kaderisasi ini berjalan adalah lewat Badan Pengelola Latihan, yang merupakan badan khusus yang bersifat semi otonom didalam tubuh HMI.
Pemahaman tentang dunia digitalisasi harus memang di masifkan untuk seluruh kader HMI, materi-materi muatan lokal yang ada di training ditubuh HMI, khusunya tentang digitalisasi harus sudah di masukan sehingga selain untuk pemahaman peserta dan juga untuk bagaimana nantinya mereka bekerja di dunia yang profesional apalagi di era yang serba cepat ini jangan sampai kader HMI jauh ketinggalan. Seharusnya dengan kejayaan sejarah HMI dulu mampu menjadi spirit juang kader HMI untuk menghadapi tantangan yang akan datang.
Poin penting perkaderan dalam HMI adalah bagaimana seorang kader dapat melakukan perkaderan yang dimulai dari diri sendiri. Bagaimana seorang pengkaderan akan mengkader orang lain, namun belum dapat mengatur dirinya sendiri.
Dibutuhkan kesadaran individu agar internalisasi nilai-nilai HMI dapat masuk dan meresap ke dalam jiwa tiap individu kader HMI. Dari hal inilah sebenarnya proses perkaderan dimulai. Perkaderan dimulai dari pribadi individu, kemudian baru menyebar ke orang lain dan masyarakat luas.
Training HMI sudah seharusnya kembali ke khitah perjuangan yang mana kita ketahui lahirnya hmi dengan dua misi besar tentang keislaman dan keindonesiaan untuk menjaga itu ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, kalau dulu kita dengan slogan HMI back to campus sekarang coba kita mulai dengan pola pentraningan kita HMI back to society dalam pelaksanaan pentrainingannya dilakukan di desa-desa selain untuk mengenalkan HMI ke masyarakat kader HMI juga harus dekat dengan masyarakat jangan sampai stigma negatif tentang HMI yang pro kekuasaan terus berkembang dikalangan masyarakat maupun kader HMI.
HMI Back Society
Perkaderan adalah suatu kegiatan primer HMI, yang mana kegiatan itu meliputi segenap usaha kearah pembinaan manusia muslim (mahasiswa Islam) Indonesia yang mampu bertanggung jawab dan mampu berbuat sebanyak banyaknya untuk kepetingan rakyat.
Maka dari itu mulai dari penempatan pelaksanaan training, HMI harus bisa mencari tempat pelaksanaan yang strategis. Tempat pelaksanaan itu meliputi adanya (Masjid/Mushola, Aula training, ruang istirahat peserta Laki-laki dan perempuan, ruang istirahat panitia dan pengelola, kamar mandi/toilet serta halaman untuk mengadakan kegiatan diluar ruangan).
Dengan beberapa poin yang harus ada dalam menentukan tempat training. Maka ada tempat yang bisa kita gunakan untuk mengadakan training. Yaitu di balai desa, sekolah dan pondok-pondok pesantren.
Dengan ditopang oleh tempat pelaksanaan training HMI yang sudah dijelaskan diatas, dan ditambah beberapa materi penunjang yang dapat menambah kepekaan kader terhadap permasalahan masyarakat yakni, materi Analisis Sosial di setiap jenjang training yang ada di HMI.
Diharapkan kader HMI bisa turun langsung dengan masyarakat yang ada di arena pentraningan. Karna kita ketahui HMI lahir untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT.
Sehingga setelah peserta yang lulus mengikuti traning LK I bisa mengimplementasikan pengetahuan keislaman dan keindonesiaan yang mereka dapatkan itu di desa tempat dilaksanakan pentraningan dan mereka bisa membentuk “desa binaan” dengan melakukan kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial.
Sudah seharusnya kader HMI kembali ke ranah masyarakat. Jangan sampai kader HMI menjadi Kader Elit yang lupa dengan dua tujuan awal berdirinya HMI. yang pernah dikatakan jendral Sudirman “HMI bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam tapi HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia.
Oleh, Ahmad Surya Ramadhan R.
Ketua Umum Badan Pengelola Latihan Pengurus Besar (BPL PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)