Karna.id — Gerakan Mahasiswa Pelajar Kebangsaan atau GMPK DPD Wilayah JawaTimur baru saja gelar diskusi publik pada Sabtu, (24/06) di Malang.
Diskusi yang mengusung tema Demokrasi Pemuda: Menguji Peforma Demokrasi Indonesia Menuju Transisi Kepemimpinan Di Pemilu 2024 itu dihadiri para aktivis mahasiswa.
Hadir sebagai Narasumber dalam diskusi tersebut yaitu pChusni Mubarok, SH., MH selaku Politisi Muda, Arya Widtantra selaku Ketua GMPK DPD Wilayah Jawa Timur dan Satria Naufal selaku Presma Fisip Universitas Brawijaya.
Baca Juga: Mengenalkan Pemilu kepada Generasi Muda: Peran Vital Pemilih Pemula dalam Pemilu 2024
Dalam diskusi tersebut mengupas tentang demokrasi Indonesia dan meneropong permasalahan-permasalahan demokrasi dari sudut pandang anak muda.
Hal ini berdasarkan pengalaman pada Pemilu 2019, masyarakat mengalami polarisasi dan keadaan masyarakat pada waktu itu penuh dengan gesekan sosial.
Mengungkap nasib demokrasi maka hanya akan mengarah pada 2 poin penting demokrasi yaitu penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi.
Pelemahan demokrasi memiliki 2 karakteristik yaitu, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan karakteristik kedua yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy” Kecenderungan inti post-democracy pada umumnya terjadi di Indonesia.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Pesta Demokrasi 2024
Inilah yang menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal.
Dengan kondisi demikian, munculah sebuah demokrasi tanpa demos.Fenomena ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal reformasi.
Sementara itu problem Demokrasi era disrupsi sudah menjadi suatu kebiasaan yang biasa saja terjadi di semua kalangan masyarakat. Diskusi Cebong dan kampret yang terjadi di masa demokrasi periode lalu merupakan fenomena baru yang membuat masyarakat Indonesia belajar betapa zaman telah bergeser pada kondisi politik yang keruh dan mempolarisasi masyarakat indonesia kala itu.
Meskipun fenomena ini makin terdegradasi oleh kesadaran masyarakat akan objektifitas di media namun hal ini tak pelak menimbulkan pertanyaan, dari mana dan sampai kapan.
Tentunya Negara harus hadir sebagai perwujudan utuh dalam satu cita cita bangsa indonesia yang melindungi segenap warga negara indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia.
Pada pemilu 2024 yang akan kita hadapi sebentar lagi, tentu prosesnya akan menjadi tolak ukur perkembangan masyarakat demokrasi kita di era disrupsi, di era informasi yang serba cepat.
Tahapan pemilu yang sudah berjalan menuju 14 februari 2024 secara ideal harus dimaknai oleh masyarakat indonesia sebagai perjalanan menentukan nasib bangsa sehingga penting untuk masyarakat indonesia berpartisipasi aktif, menjaga bersama jalannya setiap tahapan pemilu supaya tetap berdiri pada konstitusi negara, bersih, jujur dan adil.
Pada akhirnya garis finish pemilu 2024 akan menjadi agenda besar masyarakat Indonesia yang menunjukkan idealitas pemilu sebagai keutuhan suara rakyat Indonesia.
Polarisasi yang pernah terjadi di negeri ini harus menjadi pelajaran penting untuk kita semua untuk menjaga guyub rukun dalam bernegara dalam itikad bersama membangun bangsa. Dan tentu sebagai sarana integrasi bangsa, pemilu harus mampu, kembali menyatukan masyarakat dalam satu bingkai persatuan dan kesatuan demi kemajuan bangsa Indonesia.
Dalam akhir giat diskusi ini teman-teman BEM dan GMPK menyimpulkan satu gambaran besar tentang masa depan demokrasi di indonesia untuk dapat disempurnakan oleh generasi muda pada saat ini.