Karna.id — Kesejahteraan pekerja telah menjadi isu yang cukupkrusial untuk diperbincangkan dan diangkat sebagai diskursus.
Tak hanya pekerja adalah sumber daya yang menentukan ke arah mana kemajuan ekonomi suatu negara, pekerja juga merupakan pihak yang hak-haknya mestidipenuhi serta dilindungi.
Di Indonesia sendiri, pekerja atauburuh masih menemui beragam masalah pelik dalampemenuhan hak-haknya, baik itu dari segi kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maupun eksekusi yang berada di tangan para pengusaha yang mempekerjakan para buruh.
Dalam praktiknya, kesejahteraan buruh di Indonesia masih meninggalkan celah-celah rumpang untuk dibenahi, regulasiyang ada tak mampu menjadi tembok yang cukup kokohuntuk melindungi buruh dari ketidakadilan, malah regulasiyang ada justru menjadi jalan bagi fleksibelnya kesewenang-wenangan terhadap buruh selaku pihak yang lemah dalamkeberadaan relasi kuasa.
Adalah Omnibus Law, rancanganundang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang (O’brien, 2009), yang disahkan di Indonesia pada 5 Oktober 2020 lalu.
Baca Juga: SMP Hidayatun Nasyiin Dirikan Rayon Pagar Nusa Jagat 86
UU Omnibus Law Cipta Kerja yang bertujuan mengurangi ketatnya aturan-aturan hukum di Indonesia yang dianggap menghambat penanaman modal oleh para investor ini memayungi beberapaundang-undang di bawahnya, salah satunya adalah undang-undang mengenai ketenagakerjaan.
Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja mendatangkan banyak kritik dari berbagaipihak, terutama para buruh yang merasa bahwa dengandisahkannya undang-undang ini, maka makin menyulitkanburuh untuk mendapatkan haknya.
Undang-undang ini jugadisebut-sebut sebagai bentuk kurangnya keberpihakanpemerintah terhadap buruh.
Sebelum UU Ciptaker ditetapkansebagai payung yang menaungi hukum tentang tenaga kerja, terlebih dahulu regulasi mengenai ketenagakerjaan diaturdalam UU No.13 Tahun 2003, di dalam UU Ciptaker, hal-halyang bersangkutan dengan tenaga kerja diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2020.
Meski ada pergantian payung hukum danbeberapa pasal, perubahan ini tak serta merta mengarah kejalan yang lebih baik bagi buruh.
Beberapa pasal di dalam UU No. 11 Tahun 2020 malah menjadi polemik baru. UU Ciptaker terlampau memprioritaskan kepentingan para investor danmengabaikan hak-hak buruh.
Contoh pertama adalah penghapusan pasal 91 pada UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pengaturan pengupahan yang ditetapkanatas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atauserikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dariketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dihapuskannya pasal ini membuka peluang bagi para pengusaha untuk membayar buruh di bawah upah minimum yang berlaku sebab sangsi terhadap hal inimenjadi lebih longgar.
Pasal 66 ayat (1) pada UU Cipta Kerjamenggantinya dan menjelaskan bahwa hubungan pekerjaan di antara pekerja, perusahaan subkontrak, dan perusahaanpengguna atau alih daya ditentukan melalui perjanjian tertulisyang menentukan jenis pekerjaan dengan waktu tertentu ataupekerjaan dengan waktu tidak tertentu.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pengusaha menjadi lebih bebasmemerintah buruh untuk melakukan jenis pekerjaan yang diminta oleh pengusaha dan mengaburkan batasan-batasanmengenai pekerjaan jenis apa yang dapat dikerjakan olehpekerja alih daya.
Dua pasal di atas hanyalah segelintir contohmengenai betapa hukum di Indonesia masih minim keberpihakannya kepada buruh atau pekerja. Undang-undangyang semestinya menjadi produk hukum dan politik penopangregulasi demi melindungi hak-hak buruh, malah menjadibumerang.
Pemerintah selaku pihak yang memiliki otoritasuntuk membuat peraturan masih lebih mengunggulkankesejahteraan investor, namun itu dilakukan denganmengorbankan kemaslahatan para buruh.
Undang-undang ini bukan saja bermasalah dari segi substansi namun jugapenggarapannya yang dianggap tidak melibatkan pihak-pihakterdampak, waktu yang terlampau singkat untuk penyelesaiannya, serta jauh dari transparansi kepada publik, sehingga saat dia muncul, tak heran kritik untuknyadilemparkan dari berbagai sisi.
[…] Pihak keluarga Iksan menyatakan bahwa akan segera membuat laporan kepolisian agar perkara ini dapat diproses secara hukum. […]