Beranda Opini Mengukur Keseriusan Transisi Energi

Mengukur Keseriusan Transisi Energi

Karna.id — Komitmen Pemerintah terkait transisi energi tak bisa ditunda lagi dengan mempertimbangkan kondisi cadangan minyak dan gas terus menipis dan harga minya mentah juga semakin melonjak. Pemerintah tak ada pilihan lain selain menemukan sumber-sumber energi baru yang terbarukan. Karena, tak hanya energi harus baru, energi masa depan juga harus terbarukan agar sejalan dengan kebijakan mitigasi iklim dalam negeri.

Sebelumnya pemerintah Indonesia telah menyusun blue print transisi menuju energi bersih. Dibeberapa kesempatan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menyampaikan bahwa porsi energi baru serta energi terbarukan (EBT) pada bauran energi primer nasional akan terus digenjot. Sebab, pemerintah menargetkan dalam kurun waktu 2021 hingga 2025, arah kebijakan EBT naik dari 13,7 persen menjadi 23 persen. Pada tahun 2030 pemerintah hanya akan membangun pembangkit listrik dengan EBT dan bahkan opsi penggunanaan sumber daya energi nuklir dipandang cukup mempercepat raihan indonesia bebas emisi karbon sebelum waktunya.

Blue print ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memenuhi komitmen penurunan emisi karbon, seperti yang diamanatkan dalam Perjanjian Paris (paris agreement). Bahwa mulai tahun 2021 hingga 2025, penurunan emisi harus mencapai 198 juta ton CO2. Kemudian pada 2030 emisi karbon harus diturunkan 314 juta ton hingga ditahun 2060. Untuk mencapai net-zero emission itu, Negara kita harus menurunkan emisi hingga 1.526 juta ton CO2.

Ikhtiar untuk mencapai target ini memang tak mudah, juga tidak murah. Pemerintah kita melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral telah memberikan kalkulasi bahwa kebutuhan untuk transisi energi mencapai angka US$ 5,7 miliar atau jika dikonversikan mencapai Rp 85 triliun setiap tahunnya. Selain untuk membangun pembangkit listrik EBT, pemerintah juga butuh anggaran untuk mengalihkan sumber daya dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang diupayakan segera dipensiunkan. Logistik yang cukup besar juga diperlukan untuk percepatan transisi energi di sektor transportasi hingga industri.

Anggaran negara tak cukup untuk memenuhi kebutuhan ini. Kini pemerintah dituntut untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru untuk transisi energi, mulai dari kredit lembaga keuangan internasional, merancang pembiayaan kreatif, hingga memanfaatkan hibah dan dana dari para filantropi yang berkepentingan untuk memiliki sumber energi lestari. Selain itu mesti memberikan kepastian hukum bagi investasi yang bersumber dari luar negeri.

Dengan melihat kondisi demikian, bagaimana mengukur keseriusan pemerintah soal transisi energi ?

Karena, kalau hanya di atas kertas, negara kita memiliki waktu yang terbatas. Para ahli sudah memprediksi, tanpa keseriusan dari semua negara, bumi akan terpanggang akibat pemanasan global pada tahun 2030. Untuk itu target transisi energi adalah harapan utama bagi kita semua, agar bumi ini terhindar dari bencana itu dikemudian hari. Semoga pemerintah kita serius dalam mengejar target ini.

M. IKRAM PELESA
Ketua Bidang Pembangunan Energi, Migas dan Minerba PB HMI