Karna.id — Pemilu 2024 tidak lama lagi, pendaftaran Calon Anggota Legislatif (Caleg) dalam hitungan hari akan ditutup, Papol peserta Pemilu sudah menyusun Bakal Caleg yang akan didaftarkan ke KPU.
Beberapa Parpol dalam menyusun Bakal Caleg selain memasukkan Caleg Incumbent, juga merekrut figur potensial untuk menjadi pengumpul suara partainya, termasuk Menteri atau Wakil Menteri sebagai bakal Caleg.
Memasukkan Menteri atau Wakil Menteri atau pejabat struktural non PNS di Kementerian/Lembaga negara tak sekedar melengkapi susunan Caleg, tapi harapan Parpol cukup besar terhadap figur tersebut untuk menggalang dukungan suara karena pengaruhnya atau kekuatan logistiknya.
Dalam struktur Kementerian atau Lembaga Negara, pastinya mempunyai satker yang jumlahnya tidak sedikit, bahkan ada Kementerian yang mempunyai satker ribuan dan strukturnya sampai tingkat Kabupaten/Kota, belum lagi ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu aparatur sipil negara (ASN) di dalamnya, bahkan ada Kementerian yang mempunyai sayap “ASN swasta” di tingkat daerah (sampai tingkat Kecamatan bahkan Desa/Kelurahan) yang direkrut, diangkat dan diberhentikan oleh Kementerian.
Ini akan menjadi uji netralitas ASN dalam momentum politik Pemilu 2024. Netralitas ASN dalam Politik sudah diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014, disempurnakan dalam UU Nomor 1 tahun 2015 dan SKB tahun 2022 yang ditanda tangani oleh MenPAN RB, Mendagri, BKN, KASN, dan BAWASLU RI.
Baca Juga: Saiful Mujani: Mayoritas (Yang Mengaku) Santri Memilih Ganjar Pranowo
Di mana titik kerawanannya ketika Menteri, Wakil Menteri dan pimpinan Lembaga Negara ikut serta menjadi Caleg ? Ketika itu terjadi maka mesin-mesin birokrasi dan satker kementerian atau lembaga sampai tingkat daerah akan bergerak dan digerakkan oleh pimpinan birokrasi, bisa sebagai pendulang suara, bisa juga sebagai logistik Pencalegan dengan menggunakan anggaran Kementerian untuk konsolidasi suara dan pemantapan program-program yang menggunakan uang negara (APBN) yang bisa menjadi mesin suara “Sang Menteri”, berpotensi besar terjadinya tindak pidana korupsi karena penyalahgunaan uang negara.
Di sini uji netralitas terhadap ASN, uji netralitas penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Ketika ASN akan menjadi mesin politik pimpinan Kementerian/Lembaga, mampukah penyelenggara/pengawas Pemilu mengawasi dan menindaknya ? Dalam UU ASN sudah jelas larangan bahwa ASN tidak boleh berpolitik, ASN harus netral, tapi itu butuh pengawasan dan penindakan yang tegas. Dalam Peraturan Pemilu sudah jelas ada ancaman sanksi bahkan pidana jika ada ASN yang tidak netral.
Dalam Pemilu sebelumnya sebelum ada UU ASN, kita ketahui bahwa PNS (Pegawai Negeri Sipil) dilarang berpolitik, dengan berubahnya PNS menjadi ASN tentunya ada perubahan aturan di dalam UU tersebut.
Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak hanya PNS, tapi juga pegawai Non PNS yang diangkat oleh Kementerian dan gaji/honornya berasal dari APBN (uang negara).
Bawaslu, KASN, Inspektorat Kementerian dan Lembaga lembaga Non Pemerintah diharapkan bisa menjadi pengawas dan penindak yang adil dalam Pemilu. Secara etika politik, harusnya Menteri, Wakil Menteri atau pimpinan Lembaga tidak diperbolehkan menjadi Caleg, karena Komisaris BUMN atau Dewan Pengawas BUMN sudah dilarang menjadi Caleg dan harus mundur jika mendaftar sebagai Caleg.
Inilah sebenarnya ketimpangan dalam sistem pemerintahan saat ini, dimana Parpol sangat dominan dalam sistem pemerintahan, ataukah ini yang di maksud oleh Pangdam Siliwangi beberapa hari yang lalu yang tiba-tiba berstatemen tentang “Etika Politik” ? Semoga Pemilu 2024 berjalan aman, jurdil dan menghasilkan pemimpin yang berintegritas.
Oleh: Gugus Joko Waskito, Direktur Lembaga Kajian dan Survey Nusantara (LAKSNU)