Di Indonesia sering terjadi perbedaan dalam menentukan awal Bulan Ramadhan dan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri. Ini karena terdapat perbedaan dalam menentukan awal bulan komariah. Kali ini kita akan membahas metode hisab Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan komariah.
Sebagai salah ormas Islam terbesar di Indonesia maka informasi atau pengetahuan tentang cara Muhammadiyah menentukan awal bulan ini menjadi pening. Keputusan ormas tersebut dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dapat perpengaruh kepada sama atau tidaknya pelaksaan puasa Ramadhan dan Lebaran Hari Raya Idul Fitri.
Berikut akan dibahas metode tersebut berdasarkan pada “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pedoman Hisab Muhammadiyah
Pada masa Nabi Muhammad umat Islam belum begitu mengenal ilmu falak atau ilmu hisab oleh karenya penentuan awal bulan sepenuhnya berdasarkan pada penglihatan munculnya bulan sabit atau rukyatul hilal. Seiring perluasan wilayah Islam dan interaksi umat Islam dengan bangsa-bangsa yang lebih dahulu maju maka dipelajarilah ilmu falak atau hisab dari bangsa-bangsa tersebut, seperti India, Persia, Romawi, dan Yunani. Para ahli falak Islam kemudian mengembangkan perhitungan kalender kamariahnya sendiri.
Baca juga: 5 Suri Teladan Pendiri Muhamadiyah KH. Ahmad Dahlan
Hisab sendiri terbagi ke dalam dua macam, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab Urfi didasarkan pada rata-rata gerak bulan dan mendistribusikan jumlah hari ke dalam bulan-bulan yang ada, ada yang 30 hari dan ada yang 29 hari. Hisab Urfi disebut juga dengan kalender abadi. Kalender Jawa yang ditetapkan oleh Sultan Agung termasuk yang menggunakan hisab urfi.
Sedangkan hisab hakiki didasarkan pada gerak factual bulan. Karena berdasar pada gerak factual bulan inilah maka disebut dengan hisab hakiki. Dalam hisab hakiki sendiri terdapat beberapa berbedaan dalam kriteria menentukan bulan baru. Ada yang imkanurruyah atau mungkin dirukyah, dan wujudul hilal. Muhammadiyah sendiri menganut Hisab Hakiki Wujudul Hilal.
Dalam Hisab Hakiki Wujudul Hilal bulan baru kamariah dimulai apabila terpenuhi tiga kriteria secara komulatif. Artinya kalau salah satu kriteria dari tiga kriteria tidak terpenuhi maka bulan baru belum dimulai. Kriteria tersebut adalah:
- Telah terjadi ijtimak (konjungsi)
- ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
- pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Sebagaimana sudah disinggung di awal tentang fase bulan di mana fase awal adalah bulan yang tidak tampak. Ini karena posisi bulan membelakangi matahari dan membuat posisinya berada pada titik lurus dengan pusat bumi dan mahari. Posisi inilah yang disebut dengan ijtimak atau konjungsi. Maka konjungsi adalah syarat pertama yang harus terpenuhi.
Konjungsi yang tersebut harus terjadi sebelum matahari terbenam. Ini karena hari baru menurut Islam dimulai pada saat terbenamnya matahari (ghurub).
Dan kriteria terakhir yang harus terpenuhi adalah bahwa pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk. Ufuk atau horizon adalah garis yang memisahkan langit dan bumi. Horizon mudah diketahui di tengah hamparan atau di laut.
Jika ketiga kriteria tersebut terpenuhi semua maka bulan baru terbentuk bersamaan dengan pergantian hari. Jika salah satu tidak terpenuhi, misalnya pada saat terbenam matahari bulan berada di bawah ufuk maka bulan baru belum terbentuk dan akan digenapkan menjadi 30 hari.
Dan karena Muhammadiyah menganut pendapat bahwa hisab sama kedudukannya dengan rukyat maka tidak perlu lagi dilakukan rukyatul hilal untuk mengkonfirmasi hasil hisabnya.