Beranda Opini MHR. Shikka Songge: Joko Widodo Melakukan Perlawanan Dari Jogja?

MHR. Shikka Songge: Joko Widodo Melakukan Perlawanan Dari Jogja?

JAKARTA, karna.id — Setelah 4, 5 thn Engkau menjalani kewajibanmu sebagai Petugas Partai PDIP, yaitu menjadi Presiden RI. Konon Engkau membisu atas berbagai kritik terhadap langkah absurdmu yang mencemaskan dan membingungkan. Sementara rakyat lugu nun tulus menanti perubahan yang akan terjadi di negeri ini.

Semua janjimu yang dirangkai dg revolusi mental dan nawacita bagai gemuruh badai ombak gelombang yg hanya memukau di awal dan terasa menghentak. Ya maklum namanya saja badai ombak gelombang hanya bisa menyapu pasir yang tak terasa arti. Janji yang tak tertunai dan kebijakan yang menyimpang adalah suatu masalah serius bagi rakyat. Di situlah carakter dan integritasmu sebagai Presiden dipertanyakan oleh public. Tak apalah Engkaukan hanya seorang yang berkapasitas sebagai Petugas Partai. Kualitasmu tak cukup untuk memimpin negeri yang besar ini.

Apa yang mau Engkau lawan mas Nganu. Seperti apa wujud perlawananmu ? Apakah mau Engkau mau menangkap rakyat kritikus seperti yg pernah Engkau lakukan pada activis menjelang aksi 212 ? Atau Engkau hendak memenjarahkan rakyar seperti yg telah terjadi Alfian Tanjung, Ahmad Dahni ? Ataukah hendak membegal seperti halnya pembegalan pada sejumlah ulama dan activis islam di Jabar. Atau Engkau ingin membubarkan lagi ormas dan orpol seperti halnya Engkau telah dg leluasa membubarkan HTI tanpa putusan pengadilan ? Itu tidakan anti demokrasi dan melawan hukum.

Apakah Engkau ingin mendiskreditkan rivalmu dan pengeritikmu dg cara hina dina seperti halnya telah Engkau hinakan HRS yang eksedus ke Luar Negeri ?

Sadarlah Mas Nganu, jangan bertindak melapui batas. Engkau hanya seorang Petugas Presiden dari sebuah Parpol. Engkau tidak punya nilai lebih yg membanggakan rakyat. Sadarlah mas Nganu bhw batas waktu untukmu sdh diambang senja sebentar lagi kemilau cahayammu tenggelam di balik bukit. Selamat tinggal mas nganu. Rakyat hanya mengenang tipu dayamu yang dibalut oleh senyumu.

Ungkapan perlawananmu dari Yogyakarta seperti halnya ayam betina, akan bertelur tapi sayang telurnya prematur. Aku tahu Yogyakarta itu kota pelajar tempat para anak bangsa menajamkan pena, mengasah otak, menggoreskan diksi dan narasi yg terdidik. Dan tempat bagi para aristokrat menyiapkan diri menjadi kesatria dan patriotik. Orang terpelajar melawan dg pena menulis kata hikma yang berbait bait dan berjudul judul manuskrip. Para aristokrat melawan dg sikap kesatria yang patriotik.

Jadi kalau mas nganu mau melawan maka siapakah yg akan Engkau Lawan mas ? Pantaskah seorang Presiden menghadirkan diksi Perlawanan pada rakyat yang telah memeras keringat mengumpulkan pajak untuk menyangumu sebagai Petugas Partai ? Apakah tidak malu bila diksi perlawananmu itu Engkau lontarkan di Yogyakarta kota orang orang terpelajar, terdidik dan berakal sehat, kota orang orang yg penuh isi otaknya dg hikmah dan kebajikan ?

Tidak malukah Engkau pada Sri Sultan HB X yang tahtanya hanya untuk berkhidmat untuk rakyat ?. Sultan dari waktu ke waktu menggumuli singga sana kekuasaan kesultanan untuk mengayomi dan melindungi rakyat dari berbagai tekanan politik dan ancaman krisis ekonomi. Ungkapan Perlawanan hanyalah kata kata kosong bagai provokasi murahan tanpa moralitas.

Dimanakah moralitasmu sebagi Presiden jika Engkau jadikan rakyat negeri ini sebagai sasaran sumpah serapah kemarahanmu ? Bukankah engkau telah bersumpah bahwe Engkau datang sebagai petugas yg hanya mengabdi untuk rakyat ?

Di Yogyakarta tempat huni dan tempat bersemi orang orang terdidik dan kaum aristokrat, yg menjadi sumber daya peradaban bangsa. Di tempat ini tumbuh berjuta juta kata hikma dan kata bijak, di kota ini bersemi pandangan tutur kata dan perangai berbudi yang mengayomi, hander beni, tutwuri handayani, bukan melawan. Tiba tiba Engkau datang mengotori mencederai cosmologi Yogyakarta sebagai kota Pelajar, Kota Budaya dan Kota Kesultanan dg menghamburkan diksi yang bernada kriminal dan premanisme.

SELFY BUDAYA TANPA AKAL
Mas Nganu kenapa Engkau memaksakan diri berselfy di panggung politik rakyat ? Bukankah panggung itu tempat para kesatria berlaga, tempat para aristokrat bersabda dan bertitah untuk memperkuat demokrasi. Sementara Selfy itu urusanmu di rumahmu bukan di panggung public. Pemali membawa urusanmu dari kamarmu ke ruang publik. Cukup urusan privatmu berhenti di teras rumahmu. Ini ajaran mulia yang diajarkan oleh para pujangga bijak. Dari atas Panggung Politik rakyat hanya ingin mendengarkan kata kata hikmah tutur mulia dan fatwa pujangga mulia dari panggung bukan tempat engkau berfoto romantisme itu wagu dan pamali.

Tidak percaya toh, ya ora opo opo, tapi ingat mbak Ariana, ibu lembut itu malah terpeleset terlentang. Isin ora, malu nggak masa ibu bijak sang tauladan terjatuh di tempat umum dan dipertontonkan warga. Hal demikian itu menjadi catatan buruk.

Peristiwa itu seharusnya difahami sebagai pesan cosmos alias tanda tanda alam. Kata orang bijak, karena kamu suka memaksakan diri di luar akal sehatmu dan di luar kelembutan rasamu. Kerane engkau suka berbohong maka kebohonganmu diperlihatkan sang gusti pada rakyat. Agar rakyat tahu bahwa sampean sdh berbohong dan kebohonganmu berulang kali dilakukan. Seolah Engkau ingin mengajarkan kebohongan pada rakyatmu. Wagu wong tukang ngapusi kok mau maju lagi jadi Presiden.

PROVOKASI HENDROPRIYONO
Tapi si nganu memang menjadi tumpuan harapan bagi para singa singa ompong, sardadu tua yang dulu sangat angkuh berkuasa, di tangan mereka berlumuran darah. Singa singa itu sejak dulu suka membuat tipu muslihat. Dulu kerjaannya menerkam dan memakan serta nenghisap dan meremukan moral kaum santri. Mereka jadikan anak anak muslim sebagai sasaran kekerasan dan objek ekstrimitas. Membakar Waijepara sampai hangus pada hal waijepara itu perkampungan yang dihuni rakyat biasa kok tiba tiba ditukangin jadi kampung anarkhis.

Eh tiba tiba dia bertitah bhw di even Pilpres 17 april 2019 adalah perang antara ideologi Pancasila dan Khilafah. Ini kata kata yang yg sungguh beracun dan mencelakakan. Tapi rakyat percayakah bualan itu ? Bualan itu dimaksudkan untuk menakut nakuti rakyat pendukung mas Bowo. Dengan begitu para pendukung termakan stigmatisasi buruk sehingga dg alasan itu rakyat terprovokasi lalu meninggalkan dukungan pada Mas Bowo dan beralih ke Jokowi. Rakyat saat ini di zaman diagital bukan di zaman dulu yang bisa ditipu tipu.

Tidak relevan lagi membenturkan antara ideologi Pancasila dan Kholifah, atau antara umat islam dan kelompok nasionalis pada dua sisi yg berseberangan. Bagi umat Islam, Pancasila dan NKRI telah final. Sejak hilangnya 7 kata dlm Piagama Jakarta serta Pidato Mosi Integrasi M. Natsir, umat islam memandang Indonesia tidak ada lagi saling singketa. Bagi umat Islam Indonesia NKRI yang berideologi Pancasilan adalah bentuk yang tepat. Di atas landadan ideologi Pancasila umat islam mengisi bangunan Indonesia dg nilai islam termasuk menperjuangkan konstitusi sesuai dg nilai nilai islam.

Pancasila adalah rumusan yang dihadiahkan tokoh tokoh islam pendiri bangsa. Jadi bagaimana mungkin Pak HM Hendropriyono bisa membenturkan antara umat Islam dan Pancasila ? Saya kira hal yg demikian itu sesuatu yg sangat tidak logis. Kalau terus menerus dilakukan itu tentu sangat mencederai rasa kebernegaraan umat islam yg salama ini telah dihidmatkan untuk mendirikan negeri tercinta ini.

Untuk menghentikan discursus tentang sistem khilafah hanya bisa bila setiap pemerintahan yang berkuasa sanggup menginstitusikan nilai nilai Pancasila dlm setiap kebijakan dan sendi sendi berbegara untuk tegaknya keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi segenap rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.

Namun sebaliknya apa bila pemerintahan yg sedang berkuasa tidak punya ketulusan dan kemauan yg kuat menghidupkan Pancasila dlm tata kelola bernegara, tapi masih melirik ideologi lain seperti komunisme, marxisme, ateisme, liberalisme, kapatalisme, maka sudah barang tentu memicu “kelompok tertentu” dari kalangan umat islam yg mendorong mewacakan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Karena mungkin menurut pandangan mereka khilafah boleh jadi lebih bisa menegakan tatanan keadilan dan mewujudkan pranata masyarakat berkesejahteraan bagi semua warga negara RI.

INTIMIDASI WIRANTO
Eh Pak Wiranto termasuk Singa di zaman Pak Horto juga nyelonong. Bhw dg kekuasaan sebagai Menkopulhukam akan membungkam para mengeritik dan pembuli, yg dituduh melakukan ujaran kebencian akan dihadapi dg UU anti teroris. Ancaman sadis tanpa rasionalitas dari Pak Wiranto kecuali semata mata hanya nafsuh untuk berkuasa.

Alah maaak……….!
zaman gini masih ada Para mentri berceloteh tanpa rasa malu. Kalau yg diancam itu rakyat pemilik kedaulatan dan pembayar pajak. Dan uang pajak itu dipakai untuk membayar gaji dan operasional bapak selaku pejabat. Untuk apa sih bapak berkuasa tapi ujungnya hanya berprovokasi, mengherdik dan mencederai perasaan rakyat yg berdaulat ? Bukankah pilpres itu merupakan pesta demokrasi, dimana setiap rakyat boleh mengespresikan kemerdekaan dan rasionalitas politiknya untuk menyatakan pendapat politik di muka public ? Bukankah menyampaikan pendapat di muka public itu adalah hak setiap warga negara yang dijamin UU ?. Sikap Pak Wiranto seperti halnya anjing herder yang menggonggongi dan menggerogoti tuannya sendiri. Memalukan masa rakyat pemilik kedaulatan diteror dg fitnah dan ancaman absurd.

Jadi saya kira apa yang dilakukan oleh kedua toko senior militer, Pak AM. Hendropriyono dan Pak Wiranto adalah upaya untuk mengintimidasi dan memprovokasi rakyat pemilih terutama umat islam.

Kekuasaan itu memang nikmat dan menikmatkan bagi mereka yg sdh terbiasa memangku kedudukan menggumuli kekuasaan. Karenanya Pak Waranto dan Pak Hendropriyono tidak mau kehilangan jabatan meski jabatan dan visi mereka sdh kadaluwarsa dan tidak lagi aptudate.

Sesungguhnya Pernyataan Perlawanan yg disampaikan Presiden Joko Widodo dari Yogyakarta, maupun pernyataan AM. Hendropriyono mantan Kepala BIN bhw Pelpres 2019 adalah Pertarungan antara Ideologi Pancasila dan Kholifah. Serta Pak Wiranto bhw dia akan menghadapi pengeritik Pemerintahan Jokowi dg UU Teroris, adalah sesungguhnya pernyataan orang panik yang telah kehabisan argumentasi public, dan sesungguhnya mereka tidak sanggup lagi bertarung. Kekalahan di depan mata dan mereka semua akan terlempar dari pentas politik. Pernyataan mereka itu pernyataan yang bersifat provokatif dan intimidatif. Sungguh sama sekali tidak mencerminkan pernyataan pemimpin atau negarawan.

_Bengkulu, Curup Rejang Lebong, 31 April 2019. MHR. Shikka Songge_