Karna.id — “Orang ini maksudnya apa sih?” Begini kata yang pasti Bagong ucapkan, ketika mendengar perkataan Akas, saudaranya. “Siap” adalah kata yang acap kali keluar dari lisan Akas, ketika bicara dengan Bagong.
Dengan dahi mengkerut dan helaan nafas panjang, Bagong berusaha mencoba memahami maksud kata itu. Namun apalah daya, ia tak juga kunjung memahami maksud kata itu.
Suatu ketika, Bagong bertanya kepada dirinya, “kenapa ya, Akas itu selalu berkata siap, tapi orangnya kok nggak pernah siap, ya?” “Apa mungkin, arti siap menurut Akas, berbeda dari siap yang aku pahami, ya?”
Mimpi Bertajuk “Siap”
Bagong mengalami perhelatan pikiran yang luar biasa dalam dirinya. Ia nyaris putus asa, dan bahkan hampir memutuskan bunuh diri. “Oke, oke, nggak segitunya juga, kali.” ujar Bagong yang hendak menenangkan diri karena tak kunjung menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Saat tengah tertidur lelap, tanya itu menghantui sampai masuk ke mimpinya. Bangun-bangun, ia tersadar kalau mimpinya tadi malam memberi jawaban atas tanya yang sedang ia pertanyakan. Mimpi itu bertajuk “Siap”, dan memberitahu dirinya, bahwa ada perpustakaan di dekat rumahnya.
Bagong memutuskan pergi ke perpustakaan yang tidak jauh dari rumahnya itu. Sesampainya di perpustakaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah buku pertama yang ia ambil di perpustakaan itu, dengan berharap mendapat pemecahan masalah.
Dengan mengorbankan seluruh jiwa dan raga, serta semangat 45, Bagong memulai membuka lipatan-lipatan kamus itu. Pencarian pertama, dimulai dengan mencari huruf “s” dalam kamus. Kedua, “siap” menjadi kata dalam pencarian berikutnya.
Namun, lagi-lagi bagaikan cinta bertepuk sebelah tangan, Bagong hanya menemukan kata siap yang berarti; sudah disediakan (tinggal pakai), sudah selesai (dibuat atau dikerjakan), atau sudah bersedia (untuk).
Dari semua arti kata siap yang didapatkan di kamus itu, sambil kebingungan, Bagong berkata, “kamus ini, salah deh sepertinya.” Perkataan itu, ia ucapkan sambil membayangkan kata siap dari Akas, seorang saudara yang sangat ia cintai, banggakan, sayangi, dan kasihi.
Tak kehabisan akal, Bagong mencoba mengartikan kata itu sendiri. “S-I-A-P???” S (sesudah), I (ini), A (aku), dan P (pergi). Sementara, baru itu yang ada di benak Bagong saat mengartikan kata itu. “Oalah, artinya seperti itu, to. Baiklah, aku paham maksudnya!” ucap Bagong ketika hendak kencing di selokan depan rumahnya. Entah, ya barangkali WC di rumahnya sedang rusak.
Puasa Ngomong
Satu bulan kemudian…. wiu-wiu-wiu
Tibalah masa, Bagong kembali berbicara dengan Akas, “Kas, bisa bantu aku mengambil barang di ekspedisi nggak pagi ini?” ucap Bagong. “Siap, Gong,” jawab Akas. Seketika, Bagong termenung, mengerutkan dahi, kemudian menghela nafas cukup panjang, kurang lebih 2 menit-an, lah. Lalu, ia ngomong dalam hati, “Kata ini, kok keluar lagi, ya? Duh, mana artinya aku sudah lupa.”
Dengan semangat 45 yang menggebu-gebu dia memutuskan pergi ke perpustakaan yang tidak jauh dari rumahnya itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia tetap menjadi buku yang pertama dia ambil di perpustakaan itu lagi, lagi, dan lagi. Hampir 40 hari 40 malam dia bolak-balik perpustakaan itu.
Hasilnya, dia memutuskan puasa ngomong alias berhenti bicara dengan Akas untuk selama-lamanya. Karena ia sudah tidak kuat lagi bolak-balik ke perpustakaan, yang sebenarnya bukan solusi dari permasalahannya.
Akhir cerita, Bagong menyadari. Kalau Akas bukan saudara yang layak ia cintai, banggakan, kasihi, dan sayangi. Tentu saja, kata “S-I-A-P” juga bukan kata yang baik menurutnya.
Oleh: Muhammad Farhan Azizi (Saudara Susuan Bagong dan Akas)
Lihat keharmonisan persaudaraan kami di Instagram: @farhanaziziliterasi dan Twitter: @mfarhan_azizi