Karna.id — Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi sebagai prinsip dalam pemerintahan di Indonesia dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.
Sistem pemerintahan yang demokratis adalah sistem yang meletakkan kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Demokrasi menempatkan pemilihan umum (pemilu) sebagai wadah untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Baca Juga: Menteri Berpolitik, ASN Akan Jadi Mesin Politik?
Pemilu atau pesta demokrasi rakyat Indonesia dilaksanakan setiap lima tahun sekali dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam memilih pemimpin di tingkatan eksekutif dan legislatif. Pemilu akan menentukan perjalanan kepemimpinan sebuah bangsa yang diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang berpihak terhadap kepentingan rakyat .
Sebuah demokrasi yang dewasa sejatinya melibatkan partisipasi semua pihak dan keterwakilan semua elemen masyarat. Perempuan menjadi salah satu pilar dalam demokrasi untuk memilih dan dipilih dalam lembaga – lembaga pemerintahan baik eksekutif atau legislatif.
Partisipasi perempuan untuk memilih dan dipilih akan berdampak signifikan terhadap penyaluran aspirasi dan kepentingan perempuan untuk bisa diperjuangkan secara adil, serta menjadi penentu kemajuan suatu bangsa.
Di Indonesia Kehadiran perempuan dalam saluran politik masih dianggap tabu bahkan masih terjadi kekhawatiran di masyarakat karena perempuan selalu diidentikkan dengan urusan domestik mengurus rumah tangga.
Sejatinya tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukanlah sekedar menjadi pelengkap isi rumah tangga saja, namun harus bisa menjadi penentu arah kemajuan bangsa.
Kehadiran perempuan dalam dinamika politik sangat vital, jika dilewatkan artinya perempuan harus menanggung beban sejarah kelam karena menyerahkan urusan-urusan perempuan kepada laki-laki yang belum tentu berpihak kepada kepentingan perempuan, maka dikhawatirkan perjuangan perempuan dalam memperjuangan hak-hak perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan tidak bisa diwujudkan secara maksimal.
Baca Juga: Dekan FEB UWG, Ana Sopanah Kembali Raih Radar Malang Award 2023
Saat ini, Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8% atau dari 575 anggota legislatif hanya terisi 120 perempuan terpilih menjadi anggota DPR RI. Angka 30% tersebut masih dibawah persyaratan keterwakilan legislatif perempuan pada saat parpol mendaftar menjadi peserta pemilu.
Secara formal, keterlibatan perempuan sudah diatur dengan baik dalam undang-undang. Keterlibatan perempuan dalam politik didorong melalui tindakan afirmatif sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga legislatif, maupun di lembaga penyelenggara pemilu.
Partisipasi Politik Perempuan
Upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik untuk memilih dan dipilih merupakan suatu upaya yang sadar dan terukur dengan terus mendorong pemberdayaan perempuan agar mengambil peran strategis dilembaga publik.
Melibatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan publik, tidak serta merta terjadi tanpa adanya peningkatan sumber daya yang sistematis dan berkelanjutan.
Peran dan pemikiran kaum perempuan sangat dibutuhkan, apalagi menjelang pemilu 2024.
Pemikiran menjadikan perempuan sebagai mitra strategis, hanya bisa dijalankan oleh mereka yang visioner serta massif mengikuti perkembangan perempuan, dimana politik selama ini hanya identik untuk kalangan laki laki saja, akan terpatahkan ketika partipasi perempuan dikelola secara benar dan terarah.
Melihat besarnya potensi perempuan setidaknya ada faktor penting untuk meningkatkan partisipasi perempuan.
Pertama, mendorong hadirnya calon pemimpin dari kalangan perempuan secara massif untuk hadir secara nyata didalam pemerintahan baik di tingkat pusat atau daerah. tentu saja calon pemimpin perempuan harus menjadi role model serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Kedua, melakukan pendidikan politik partisipatif untuk menumbuhkan kesadaran dimasyarakat khususnya kaum perempuan agar terlibat aktif untuk memilih dan dipilih, serta memperjuangkan kehadiran atau keterwakilan perempuan di eksekutif maupun legislatif.
Ketiga, pendidikan politik yang berkelanjutan tentu nya harus terus diupayakan sehingga kesadaran perempuan dalam menetukan hak-haknya tidak bisa digadaikan atau diperjualbelikan untuk kepentingan oknum atau kelompok yang hanya memanfaatkan perempuan sebagai objek okploitasi politik.
Terakhir, tantangan ini harus direspon secara serius oleh kelompok – kelompok perempuan dan semua pihak agar mendorong kader-kader perempuan potensial untuk bersaing untuk bisa memilih dan dipilih dalam lembaga publik.
Menurut hemat penulis, momentum pemilu 2024 adalah waktu yang tepat untuk mendorong minat perempuan agar berpartisipasi aktif dalam proses memilih atau dipilih pada urusan politik sehingga keberadaann perempuan dapat menjadi penentu kemajuan bangsa.
Oleh, Sitti Fatimah Arman Pua Upa ( Volunteer di Lembaga Swara Milenial Indonesia )