Beranda Pemilu SMRC: Dukungan pada Otoritarianisme Menguat

SMRC: Dukungan pada Otoritarianisme Menguat

Pemimpin Otoriter

Jakarta, Karna.id — Dukungan publik pada otoritarianisme menguat. Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dipresentasikan Prof. Saiful Mujani dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Sikap Otoritarian menjelang Pemilu 2024” yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 17 Agustus 2023.

Saiful menjelaskan bahwa pertanyaan tentang seberapa kuat dukungan masyarakat terhadap sistem politik di sebuah negara biasanya dijawab melalui survei opini publik. Salah satu yang bisa membuat otoritarianisme bertahan adalah apabila dukungan pada sistem tersebut di tengah masyarakat juga kuat. Demikian halnya untuk demokrasi, dukungan pada sistem demokrasi akan memperkuat demokrasi itu sendiri. Kalau masyarakat bersikap positif pada demokrasi, maka demokrasi akan terkonsolidasi.

Dalam konteks ini, Saiful memiliki studi longitudinal dalam 20 tahun terakhir tentang hal tersebut. Ada dua indikator yang digunakan dalam studi ini. Pertama, bagaimana sikap masyarakat terhadap ide bahwa sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemilihan umum (Pemilu) dihapus saja dan pemerintahan diserahkan pada pemimpin yang kuat, bukan hasil pemilu, bisa pemimpin tentara atau kerajaan yang tidak dipilih oleh rakyat. Kedua, sikap warga terhadap ide sebaiknya tentara aktif memimpin pemerintahan kita.

Terhadap gagasan DPR dan pemilu dihapus, dalam survei Juli 2023, yang menyatakan setuju atau sangat setuju 19 persen, angka ini naik dari 7 persen pada survei Februari-Maret 2021. Sementara yang menyatakan tidak atau sangat tidak setuju turun dari 86 persen pada 2021 menjadi 71 persen pada Juli 2023. Masih ada 10 persen yang belum menjawab pada survei 2023, naik dari 7 persen pada dua tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan, jelas Saiful, ada kenaikan sikap dari masyarakat yang cenderung otoritarian, menginginkan pemimpin yang kuat dan mengabaikan pentingnya pemilu dan DPR yang berfungsi mengawasi pemerintah.

“Dalam dua tahun terakhir, ada indikasi bahwa dukungan pada otoritarianisme menguat,” ungkap Saiful.

Baca juga: SMRC: Anies-AHY Lebih Kuat Elektabiltasnya Dibanding Anies-Khofifah

Dilihat dalam jangka panjang, sejak 2006, angka dukungan pada ide DPR dan pemilu dihapus rata-rata di bawah 10 persen. Namun dalam jangka waktu dua tahun terakhir (sejak 2021) warga yang mendukung ide pemilu dan DPR dihapus mengalami kenaikan.

“Jumlah orang yang hambar dengan demokrasi meningkat secara signifikan. Ini harus menjadi perhatian. Jangan sampai kembali dan terus naik.” kata Saiful.

Indikator kedua yang biasa dipakai dalam studi perbandingan mengenai sikap masyarakat dalam dukungannya terhadap demokrasi adalah ide bahwa sebaiknya tentara aktif memimpin pemerintahan kita. Dalam survei Juli 2023, terdapat 37 persen warga yang setuju dengan gagasan tersebut. Angka ini naik dari 31 persen pada survei Februari-Maret 2021. Yang menyatakan sangat atau tidak setuju turun dari 62 persen (2021) menjadi 54 persen (2023). Masih ada 9 persen yang belum menjawab.

Saiful menjelaskan bahwa dalam demokrasi, tentara aktif tidak diberikan tempat untuk ikut pemilu karena mereka secara khusus berfungsi untuk keamanan dengan segala kekuatan yang dimilikinya termasuk menggunakan senjata. Mereka secara legal, demi pertahanan, bisa menggunakan senjata. Sementara dalam pemerintahan demokrasi, tidak diperbolehkan menggunakan kekuatan bersenjata. Tidak bisa orang yang bersenjata bersaing dengan orang yang tidak punya senjata. Karena itu, tentara aktif harus berada di luar pemerintahan. Mereka justru harus diperintah dan dikendalikan oleh pemimpin hasil pemilu.

Hasil survei ini menunjukkan dukungan publik pada tentara aktif untuk memimpin pemerintahan cenderung menguat. Pada 2018-2019, yang setuju kepemimpinan tentara aktif hanya sekitar 18 sampai 26 persen. Pada 2023, sekitar empat tahun kemudian, mengalami kenaikan menjadi 37 persen.

“Jumlah orang yang tidak keberatan atau mendukung ide agar tentara aktif menjadi pemimpin tanpa pemilu membesar jumlahnya,” ungkap Saiful.

Pada masa Jokowi, yang mendukung ide kepemimpinan tentara cenderung rendah, sebaliknya, yang menentang gagasan itu tinggi. Namun dibandingkan dengan masa Susilo Bambang-Yudhoyono, tingkat persetujuan warga relatif tinggi pada ide kepemimpinan tentara aktif. Saiful menjelaskan bahwa kemungkinan karena SBY berlatarbelakang tentara, orang kemudian memiliki pemahaman bahwa tentara oke untuk menjadi pemimpin walaupun SBY sudah bukan lagi tentara ketika menjadi presiden.

Saat ini juga demikian, lanjut Saiful, setelah 2019, Prabowo Subianto kembali berkampanye untuk menjadi presiden. Ada model di tingkat elite tokoh yang berlatar belakang tentara ikut dalam pemilihan presiden. Walaupun dia sudah menjadi sipil, namun di mata publik seolah-olah dia adalah masih tentara.

“Kalau dilihat di pelbagai tayangan video, banyak beredar bagaimana tentara aktif mendukung Prabowo Subianto. Karena itu, opini tentang kepemimpinan tentara muncul setelah Prabowo aktif kembali untuk menjadi calon presiden,” jelasnya.

Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 1220 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1041 atau 86%. Sebanyak 1041 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,1% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Dalam survei terakhir waktu wawancara lapangan 16- 23 Juli 2023.