Karna.id — Buku berjudul Oligarchy karangan Jeffrey Winters salah satu professor politik asal Amerika Serikat, memberikan gambaran mengenai oligarki. Dalam buku terbitan 2011 tersebut, Jeffrey mendefenisikan Oligarki sebagai politik mempertahankan kekayaan yang di jalankan oleh kalangan yang memiliki kekayaan materil. Dengan sederhana oligarki dapat dikatakan sebagai kekuasaan yang di pegang oleh segelintir elit, namun dapat menguasai sumber daya yang sangat luas dan besar.
Percakapan public dari kalangan aktivis, LSM, dan akademisi beberpa bulan lalu berkaitan dengan oligarki kian marak terdengar. Kata oligarki menggurita di public tidak hanya bersangkutan dengan dunia Politik seperti pemilu, namun menjalar ke pengelolaan sumber daya alam. Belum lama ini RUU cipta kerja dan RUU Minerba yang di susun kembali dan telah di sahkan oleh badan legislatif Negara, pengesahan yang di lakukan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan partisipasi public dan transaparansi penyusunan dianggap sebagai upaya untuk mengakomadasi kepentingan oligarki.
Senada, dengan hal di muka maka tulisan ini dibuat. Namun, tidak akan banyak mengulas tentang konsep studi ilmu politik, tulisan ini akan sedikit menggabungkan konsep oligarki dalam kaitannya dengan sumber daya kelautan. Sederhananya oligarki dalam kaitaanya dengan sumber daya kelautan dapat di maknai sebagai upaya menguasai sumber daya kelautan oleh beberpa orang (elit). Dengan demikian oligarki akan menciptakan problem social yang besar dan menghambat pertumbuhan dan kesejatrahan masyarakat, terkhususnya para nelayan kecil, pembudidaya dan petambak garam yang dimana merekalah yang menggantungkan hidup dengan sumber daya laut.
OLIGARKI PERIKANAN RELASI DAN KUASA
Mantan mentri kelautan dan perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti dalam pandanganya sering menegaskan bahwa kekayaan di laut hanya di miliki oleh beberapa orang. Menurut beliau, dari kurang lebih 4000-5000 kapal penangkapan ikan berskala besar, kepemilikannya di miliki oleh sekitar 8-20 Perusahaan. Mantan Dirjen Perikanan tangkap KPP Zulficar Mochtar juga pernah mengatakan bahwa tantangan besar tata kelola perikanan tangkap Indonesia hari ini adalah terjadinya oligarki.
Kondisi ini inheren dengan adanya kasus suap yang menimpa eks mentri KKP Edhy Prabowo. Mengapa demikian, setelah menjabat sebagai pimpinan tertinggi di KPP kader Gerindra tersebut memperbolehkan ekspor benih lobster yang di atur dalam Permen KP No 12 tahun 2020. Pembukaan keran ekspor tersebut di sinyalir merupakan kepentingan oligarki bukanlah kepentingan masyarakat (Nelayan, Pembudidaya dan lain-lain) walaupun banyak dalih yang di buat bahwa dengan adanya kebijakan ini di tujukan kepada para pembubidaya dan nelayan-nelayan kecil. Fakta empiris menunjukan bahwa perusahaan yang mendapatkan izin eksportir benih lobster, beberapa politikus dari partai eks mentri Edhy terafeliasi sebagai pemagang saham.
Kasus suap yang melibatkan eks mentri edhy prabowo menguatkan bagaimana relasi dan kuasa oligarki dalam mencamplok sumber daya kelautan yang ada dengan dalih untuk kesejatrahan masyarakat kecil. Tertangkapnya edhy prabowo bukan berarti telah memutus mata rantai oligarki yang ada, mengguritanya oligarki dalam penguasaan sumber daya kelautan menjadi tugas besar bagi pemerintah untuk menyelesaikan masalah oligarki secara utuh.
MEMUTUS MATA RANTAI OLIGARKI
Realitas dewasa ini menunjukan bagaimana oligarki dalam penguasaan sumber daya kelautan yang ada. Pemberian izin yang di fasilitasi oleh pemerintah di bidang kelautan dan perikanan telah mengakar dan telah di dominasi oleh beberap orang, hal ini selaras dengan adanya praktik kartel dan monopoli harga. Implikasi dari adanya permainan tersebut bermuara pada konsekuensi yang kaya akan tetap kaya dan yang miskin akan tetap miskin.
Upaya mentransmisikan nilai-nilai perlawan terhadap oligarki yang mengusai sumber daya kelautan dapat di tempuh dengan berbagai cara, diantaranya : pimpinan tertinggi dalam KKP harus lahir dari akademisi dan praktisi perikanan atau sejenisnya, bukan di angkat dari kader parta politik. Hal ini di tujukan agar menghindarinya adanya kontrak politik yang mengakibatkan dampak negative berupa pengakomodasian kepentingan elitis. Mendorong pemerintah pusat untuk mentransparansikan kebijakan yang di buat. Hal ini bertujuan agar masyarakat berpartisipasi aktif dalam mengawal dan mengontrol kebijakan-kebijakan yang sudah di buat. Kemudian, seleksi perizinan kapal yang ketat bagi pengusaha besar yang memiliki kapal di atas rata-rata. Melakukan penyadaran kepada masyarakat agar melakukan pembenahan terhadap institusi-institusi politik dan sistem pemilu.
Untuk memutus mata rantai oligarki dalam kaitannya dengan penguasaan sumber daya kelautan, maka perlu adanya kesadaran kolektif dari seluruh unsur tentang berbahayanya oligarki. Hal ini dapat di tempuh dengan memberikan edukasi dan gambaran secara fundamen dan komperhensif bagi masyarakat terkhusunya para nelayan kecil, pembudidaya dan petambak garam secara massif. Sehingga output dari kesadaran tersebut mengahasilkan perlawanan yang di dasarkan pada kemampuan menganalisa dampak negative dari adanya oligarki. Kaum-kaum intelek perikanan harus melihat problema ini sebagai masalah besar, bukan hanya berorientasi pada kelulusan dan memenuhi stock pasar oligarki.
Oleh, Jan Tuheteru (Mahasiswa Perikanan UMM DPW HIMAPIKANI Wilayah4)