Karna.id — Perselisihan hasil pemilihan Kepala Daerah merupakan suatu konsekweksi hukum dalam pelaksaan pesta demokrasi di daerah. sehingga untuk menjamin adanya kepastian hukum (legal certainty) sudah seharusnya dibentuk suatu lembaga yang berwenang untuk mengadilan perselisihan hasil PILKADA.
Pada dasarnya saat ini MK menjadi lembaga yang berwenang untuk mengadili perselisihan hasil PILKADA. Namun secara kelembagaan Berdasarkan Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada No. 8 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir oleh UU No. 6 Tahun 2020, dinyatakan bahwa kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pilkada diberikan kepada badan peradilan khusus, meskipun hingga saat ini lembaga ini belum juga terbentuk.
Pada prinsipnya pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pilkada diawali dengan faktor kebutuhan/kemendesakan (the urgency factor) atau sesuatu hal yang sifatnya urgen.
Untuk mengetahui apakah pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pilkada memiliki faktor kemendesakan (the urgency factor) yang menjadi latar belakang dibentuknya, setidaknya dapat dilihat darifaktor kebutuhan hukum (legal requirements factor), yakni urgensi pembentukan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pilkada dalam aspek yuridis.
Baca Juga: Menteri Berpolitik, ASN Akan Jadi Mesin Politik?
Mengingat munculnya istilah badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pilkada masih berupa kerangka kelembagaannya saja, belum mencerminkan kelembagaannya secara utuh dan konkrit, sehingga belum dapat difungsikan selayaknya badan peradilan karena tidak dilanjutkan dengan pengaturan secara konkrit.
Pembentukan badan peradilan khusus ini tidak bisa dipisahkan dari peristiwa hukum sebelumnya, yakni dikeluarkannya putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.
Dalam amar putusan a quo, MK mengamputasi kewenangannya sendiri dalam menyelesaikan perselisihan hasil pilkada dengan menyatakan Pasal 236C Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, meskipun dalam poin berikutnya dalam amar putusan tersebut MK menyatakan masih berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada selama belum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Berdasarkan putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, pengaturan mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada diserahkan kepada MA, seperti yang diatur pada ketentuan Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada No. 1 Tahun 2015, namun MA berada dalam posisi menolak kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada tersebut.
Berawal dari saling lempar bola kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pilkada antara MK dan MA, yakni MK menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada, sedangkan MA menolak pengembalian kewenangan tersebut.
Kondisi tersebut mencerminkan terjadinya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam penyelesaian perselisihan hasil pilkada, sehingga secara yuridis menjadi urgen untuk melakukan kebijakan legislasi dalam rangka menjawab ketidakpastian hukum tersebut.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Pesta Demokrasi 2024
Selain itu, pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pilkada dipandang dari aspek kebutuhan hukum (legal requirements) juga sangat urgen, karena jika badan peradilan khusus a quo tidak segera dibentuk maka penyelesaian perselisihan hasil pilkada tidak memiliki saluran yuridis atau tidak memiliki kepastian hukum (legal uncertainty) sebagaimana penulis sampaikan diatas.
Urgensi dalam pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pilkada a quo, secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir oleh UU No. 6 Tahun 2020, dinyatakan bahwa “badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional”.
Ketentuan yuridis di atas menunjukkan pesan adanya urgensi pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sebelum pelaksaan PILKADA serentak nasional pada 2024 ini. Meski dalam prakteknya hingga saat ini belum ada tanda-tanda bahwa badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil PILKADA ini akan dibentuk.
Menurut hemat penulis urgensi pembentukan badan peradilan khusus penyelesaian perselisihan hasil PILKADA ini harus menjadi perhatian dari semua kalangan, sehingga permasalahan terkait ketidak pastian hukum dalam hal kewenangan mengadili perselisihan hasil PILKADA ini segera mendapatkan saluran secara yuridis dalam rangka meningkatkan sistem Demokrasi di Negara ini.
Baca Juga: Tantangan Pilkada 2020: COVID-19 dan Demokrasi
Sehingga dapat meminimalisir terjadi konflik secara Horizontal maupun konflik Vertikal di kalangan masyarakat dalam menghadapi pesta Demokrasi kedepannya jika kebutuhan akan kelembagaan ini dapat terpenuhi dengan segera.
Oleh, Luqman Wahyudi., SH., MH